Jejak seni yang menggugah pengunjung

Erlita Irmania
0

Saya dan teman saya tiba di tengah hujan rintik-rintik, dan udara terasa sangat berbeda ketika kami masuk ke tempat tersebut yang sangat dingin, bersih, dan pencahayaannya membuat tampak tenang. Itu adalah pertama kali saya berkunjung ke salah satu museum yang berada di Bandung, bertempat di Jl. Braga No.47, Braga, Kec. Sumur Bandung, Kota Bandung yaitu Grey Art Gallery. Awalnya kami sempat kebingungan menemukan tempatnya karena hari sudah mulai gelap dan kami tidak melihat papan nama yang terlihat jelas. Karena kebingungan, kami memastikan melalui internet. Di pintu masuk ada beberapa staf yang sedang menyambut pengunjung untuk membeli tiket terlebih dahulu sebelum melihat lukisan-lukisan yang sudah terpajang rapi di dinding. Staf menjelaskan beberapa larangan serta aturan umum yang harus dipatuhi sebelum memasuki area galeri tersebut: tidak boleh menyentuh karya, tidak boleh menggunakan flash kamera, dan menjaga ketenangan di dalam ruangan. Penjelasan yang sangat sederhana namun membantu para pengunjung memiliki gambaran awal tentang bagaimana galeri dikelola.

Begitu masuk, kami mendapati ruang yang tidak terlalu besar, tetapi cukup lapang dan tertata rapi. Setiap langkah terasa dipandu oleh cahaya lampu yang diarahkan dengan tepat pada karya-karya yang dipamerkan. Tidak ada suara bising, hanya ada langkah-langkah pengunjung saja.

Sebelum kita memasuki ke lorong kecil, di sisi kanan pintu masuk sebelum pembayaran terdapat panel besar yang bertuliskan "MEREKA(h)", tema pameran periode tersebut. Tema ini menjadi pusat narasi yang ingin dibangun oleh galeri, mengangkat isu mengenai identitas, hubungan antar manusia, serta proses melihat diri melalui orang lain. Penjelasan singkat mengenai tema itu menjadi pembuka yang menarik. Staff juga memberi tahu bahwa Grey Art Gallery ini mengganti tema pameran setiap dua bulan sekali, agar setiap kunjungan selalu menawarkan pengalaman baru. Panel tersebut memberikan konteks awal, namun galeri seolah membiarkan pengunjung menafsirkan sendiri. Tidak ada panduan panjang, tidak ada narasi verbal yang dipaksakan. Setiap ruang memberikan kesempatan untuk membentuk cerita masing-masing.

Kami memulai eksplorasi dari lantai atas, bawa, hingga tengah. Setiap lantai memiliki tema yang berbeda dan sebelum ke ruang tengah, ada tangga kayu yang mengarah ke lantai atas. Tangga ini tidak curam dan tidak terlalu sempit, yang menimbulkan sensasi naik ke ruang lain yang terpisah dari wajah utama galeri. Sebelum naik ke tangga menuju ruang atas, di sebelah kanan ada papan yang berisi tema pameran yang berjudul NIGHTGOWN, tema ini mengangkat gagasan seorang putri Odette, tokoh balet klasik tahun 1877, hadir kembali dalam ruang yang kontemporer. Namun versi yang disajikan di Grey Art Gallery bukan tragedy lama yang berulang. Melalui pendekatan visual Camilla, narasi Odette dibongkar dan disusun ulang menjadi figure perempuan yang telah berdamai dengan masa lalu, bukan lagi sosok yang dilukai oleh cinta. Tidak ada musik tidak ada panggung seperti baletnya dahulu, tetapi ada potongan tekstil lembut, warna yang teduh, dan kilau tipis yang terasa rapuh segaligus tenang. Seolah emosi yang biasanya jatuh sebagai akhir yang menyedihkan, kini berubah menjadi kecantikan yang lain, kehilangan yang tidak menghakimi, tetapi memberi lapisan baru pada identitasnya. Tema ini dikuratori oleh Clarissa Tiffany dan menjadi pintu pembuka untuk memahami bagaimana di lantai atas tidak hanya dipandang sebagai objek visual, tetapi narasi ulang terhadap perempuan yang menulis ulang luka menjadi estetika.

Setelah dari lantai atas kami lanjut untuk ke ruangan tengah, di lantai ini menghadirkan suasana yang berbeda. Ruang ini dikenal sebagai HALLY Zebra Space area pameran inti yang sering menjadi fokus tema bulanan. Pada pameran Mereka(h), area tengah diisi karya Aryo Saloko yang mempresentasikan tema Ardore Numerico atau "kelahiran angka" secara sederhana, tema ini menyinggung sejarah paling awal sebelum bahasa tertulis berkembang. Angka, menurut kuratorialnya, merupakan bentuk komunikasi mula yang membantu manusia membaca dunia. Dari pandangan kuno, perhitungan Pythagoras di Yunani, hingga perkembangan ilmiah Renaisans, angka menjadi struktur yang tidak terlihat tetapi selalu membentuk realitas. Kuratornya, Mardohar B. B Simanjuntak, menyoroti bahwa era digital kini justru membuat angka kembali menjadi pusat kehidupan bahkan melebihi kata. Aryo menerjemahkan gagasan ke dalam karya visualnya. Tidak dalam bentuk angka literal, tetapi sebagai gestur dan struktur yang membangun citra. Dari kejauhan, karyanya tampak seperti pola seperti pengulangan hitungan, tetapi dalam nuansa emosional. Angka menjadi tubuh visual; bukan lagi hitungan, melainkan jarak, waktu, dan cara menyentuh dunia.

Bisa dibilang ruang tengah adalah jantung galeri. Di dindingnya tercantum harga setiap karya bukan untuk menghias papan informasi, tetapi sebagai tanda bahwa setiap karya memiliki kehidupan di luar ruang ini. Saat saya berdiri memperhatikan salah satu lukisan piksel yang tersusun dari ribuan dari titik tinta, saya bertemu dengan seorang pengunjung lain dan dia menjadi salah satu narasumbernya. Dari percakapan ringan yang berlangsung, saya mengetahui bahwa dia juga pertama kali berkunjung ke Grey Art Gallery, dia terlihat sangat antusias dan ia menunjuk salah satu lukisan yang ada di dinding tersebut dan menurutnya teknik dari gambar tersebut menggunakan drawing pen untuk menghasilkan efek seperti piksel yang merupakan keunikan tersendiri. Ketelitian dari titik-titik kecil itu memberi kesan bahwa karya tersebut memiliki kedalaman yang tidak tampak pada pandangan pertama.

Menjelajahi Grey Art Gallery memberikan pengalaman yang cukup berkesan bagi saya yang baru pertama kali mengunjungi tempat tersebut. Meski ruangannya tidak terlalu besar, gallery ini mampu memberikan atmosfer yang berbeda di setiap bagian. Setiap ruang memiliki karakter yang unik, mulai dari sambutan lembut di lantai atas, teknik dan dinamika di ruang tengah, hingga ketenangan mendalam di ruang bawah. Pertemuan dengan pengunjung yang menjadi narasumber saya menjadi pengingat bahwa tempat ini tidak hanya menarik bagi warga Bandung, tetapi juga bagi mereka yang datang dari jauh untuk menikmati seni lokal. Dari ruang tengah, kami turun ke bagian paling unik yaitu lantai bawah. Didindingnya batu abu yang tidak benar-benar batu, tetapi dicat menyerupai struktur bata bergaya medieval. Permukaannya dibuat bertekstur visual. Rasanya seperti berada di ruang bawah kastil, bukan di pusat kota Bandung. Suasana berubah drastis. Tiga lukisan berukuran cukup besar tergantung di dinding paling dalam. Ketiganya dipasang dengan jarak yang mengukur, seolah memberi ruang bagi pengunjung untuk membaca keheningan. Yang paling mencuri perhatian adalah alat sensor bunyi di tangga. Ketika seseorang melangkah di beberapa anak tangga terakhir, logam itu terbunyi bergesek dan terdengar tidak keras, tetapi cukup untuk membuat pengunjung sadar bahwa ia sedang terdeteksi. Tidak seperti CCTV, bunyi ini tidak merekam, tetapi menyatakan keberadaan tubuh. Rasanya seperti ruang menyambut kita tanpa visual, hanya dengan suara.

Di tengah ruang, ada sebuah kain gelap transparan digantung secara persis. Dari jauh, ia terlihat seperti bayangan yang menggantung tanpa asal. Namun ketika mendekat sedikit, terlihat guratan yang menyerupai sidik jari besar, seperti cetakan tubuh yang pernah menempel tetapi tidak pernah selesai dihapus. Kain itu tidak benar-benar menutupi lukisan di belakangnya, tetapi mengaburkannya seolah-olah membuat pengunjung harus melihat dua lapisan secara bersamaan: apa yang tertutup dan apa yang ditampakkan. Proyektor kecil menyorotinya dari arah tertentu sehingga guratan tersebut tidak sekadar menjadi pola, tetapi hadir sebagai citra yang menuntut perhatian. Lantai ruang ini dibuat dalam pola ubin kotak berwarna abu-abu muda dan gelap, dua nada yang saling berganti, seperti papan permainan atau ruang ritus.

Di seluruh ruangan terdapat pembatas rendah, tidak mengunci ruang, tetapi memberi batas etik antara pengunjung dan karya. Ruang bawah ini terasa paling sunyi. Tidak ada suara kecuali langkah kaki pengunjung ketika berjalan dan sesekali bunyi sensor kecil yang bereaksi ketika seseorang bergerak melewatinya. Bukan bunyi yang mengingatkan bahwa tubuh kita hadir. Jika di lantai atas menekankan narasi, di lantai tengah mengelola struktur gagasan, maka lantai bawah ini lebih terasa sebagai ruang refleksi. Keluar dari museum itu seperti kembali ke ritme kota, sensasinya berbeda setelah keluar dari ruang yang senyap, sunyi, dan tidak terburu-buru. Bagi saya menjelajahi Museum Grey Art Gallery ini memberikan pengalaman yang sangat berkesan, meskipun ruangannya tidak terlalu besar, tetapi tempat ini mampu memberikan atmosfer yang berbeda di setiap bagiannya. Setiap ruang memiliki karakter yang unik, mulai dari sambutan lembut yang berada di lantai atas, teknik dan dinamika di ruang tengah, hingga ketenangan mendalam berada di ruang bawah.

Pertemuan saya dengan salah satu pengunjung yang menjadi narasumber, yang datang dari luar kota, memberikan gambaran baru tentang bagaimana galeri ini dipandang oleh pengunjung dengan pengalaman dan latar belakang yang berbeda. Ia terkesan oleh lukisan piksel serta pandangannya terhadap suasana galeri ini bahwa ruangannya tidak hanya berfungsi sebagai tempat pamer, tetapi juga sebagai ruang apresiasi bagi siapa pun yang ingin menikmati seni tanpa harus memahami teori atau sejarah panjang di baliknya. Grey Art Gallery bukan destinasi besar seperti museum nasional, tetapi justru dari skala kecil itulah ia mendapatkan identitasnya sendiri. Galeri ini adalah tempat yang mengandalkan kedekatan seperti kedekatan antara pengunjung dengan karya-karya, kedekatan antarruangan yang saling melengkapi, dan kedekatan perasaan ketika seseorang menemukan karya yang menyentuh dirinya. Tema yang berubah setiap dua bulan sekali juga menjadi salah satu keunikan dari museum ini, karyanya yang berganti, kuratornya yang berganti, dan narasinya pun berganti, tidak ada yang menetap. Kunjungan kami hanyalah satu fase yang suatu saat akan berubah. Pada akhirnya, kunjungan pertama ini menjadi lebih dari sekadar melihat lukisan. Ini adalah pengalaman untuk memahami bahwa seni dapat hadir dalam wujud yang tenang, sederhana, dan tidak mengharuskan kita menafsirkannya dengan rumit. Cukup membuka hati, memperlambat langkah, dan membiarkan ruang-ruang kecil itu berbicara.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default